'

Bimbel; Ladang Cuan Baru Masisir

Sumber: Pixabay

Kuantitas masisir (Mahasiswa Indonesia Di Mesir) terbilang membludak pada beberapa tahun terakhir. Dalam bingkai sunatullah, kegengsian sesuatu akan semakin berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah. Kemerosotan kualitas masisir dalam bidang keilmuan saya rasa sudah diamini oleh seluruh elemennya. Namun, yang menjadi titik tekan adalah bagaimana cara meminimalisir kekurangan itu.


Dengan jumlah yang besar, kehidupan masisir menjadi persis dengan kehidupan mahasiswa di Indonesia. Terkhusus dalam lahan bisnis. Kini masisir tidak lagi bingung jika ingin makan bakso, batagor, sampai rendang. Semua tersedia di sini. Tak pusing lagi, jika ingin kirim ini dan itu.


Di majelis perkopian duniawi, tak jarang saya bersama teman-teman iseng mencari celah bisnis yang belum ada di kalangan masisir. Tetapi malah menjurus pada bisnis kotor yang tentunya hanya jadi bahan candaan saja. Fenomena semacam ini (perbisnisan masisir) tidak dapat ditepis, wong nyatanya sangat membantu kehidupan masisir. Ya semacam mutualisme lah.


Sebenarnya, saya sudah menemukan titik pembeda kultur masisir dengan di Indonesia sejak masih menjadi maba polos. Dari dulu saya gemar menyoroti aktivitas keilmuan dalam lingkup masisir sendiri.


Saya bertanya pada senior mengenai seminar, bedah buku, mengajar di lembaga masisir, dan seterusnya. Berapa bisyarah (tarif) yang diperlukan untuk meminta mereka guna mengisi kegiatan semacam itu? Ternyata jawabannya bikin saya kagum. “Gratis. Urusan keilmuan di sini semuanya nggak bertarif.” begitu kira-kira. Roh keikhlasan al-Azhar ternyata juga mendarah daging pada duta-dutanya. Salut!


Kultur yang begitu indah tersebut, dewasa ini perlu dilirik kembali. Pasalnya bimbel-bimbel yang semula menjadi alternatif masisir yang masih ‘kurang’, sedikit demi sedikit diubah menjadi lahan komersil. Mumpung masih terasa aneh, saya ingin menggerutu melalui tulisan ini.


Bimbel ini memang dari dulu seksi sekali, sehingga sangat nikmat dijadikan buah bibir masisir. Dulu ada ‘Bimbel Satu Malam’ yang mencoreng nama baik guru-guru bimbel yang super ikhlas. Sampai dijadikan gurauan kalau ada teman mau bimbel, diceletuki “Astaghfirullah...”. Lah kok di musim ujian yang mengagetkan sekarang ini, ada yang lebih mengagetkan, yaitu bimbel bertarif.


Tarif yang dipatok juga bermacam-macam. Dari angka puluhan hingga ratusan pound Mesir. Tarif itu bukan untuk bimbel kolektif, melainkan untuk setiap mata kuliah yang diambil. Biaya yang wajar mungkin bisa dimaklumi. Dengan dalih alokasi dananya untuk keperluan operasional. Lah yang lebih dari seratus pound itu untuk apa saja ya kira-kira?


Saya tidak menyoal keikhlasan pengampunya, hanya menyayangkan jika adat keren tersebut bisa luntur, apalagi hilang. Di Indonesia semuanya (sebagian besar) berbayar. Pengajian, bimbel, les privat, dan lain-lain, harus ada fulusnya. Sedangkan masisir dari dulu sudah berbeda. Murni tolong-menolong dalam kebaikan.


Jika berkaca pada mahasiswa negara tetangga, tentu hal ini kurang bijak. Mereka mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dari kita. Normal bagi mereka menarik iuran atau tarif untuk mengikuti bimbingan belajar. Tak jarang pula mereka meminta pengajarnya dari masisir. Selain faktor ekonomi, sosio-kultur mereka ya seperti itu. Dalam hal ini, kita lebih istimewa. Kepedulian antar anak bangsa di sini benar-benar nyata.


Memang, Syekh al-Zarnuji dalam Ta’lim-nya berkata:


رأيت أحق الحق حق المعلم ... وأوجبه حفظا على كل مسلم


لقد حق أن يهدى إليه كرامة ... لتعليم حرف واحد ألف درهم[1]


“Saya mengerti hak yang paling penting, berupa hak seorang pengajar. Setiap muslim harus memperhatikan betul perihal hak ini.

Pengajar benar-benar berhak dihadiahi sebuah kemuliaan. Untuk setiap pengajaran satu huruf senilai seribu dirham.”


Saya memahami syair tersebut sebagai suatu kiasan yang memuat urgensitas memuliakan guru. Terlalu berlebihan jika dipahami secara tekstual. Masak untuk setiap huruf ‘dihargai’ dengan seribu dirham. Bisa bodoh semua umat ini, karena tidak mampu membayar semahal itu.


Ejawantah memuliakan guru tentu saja bersinggungan dengan adat dan budaya yang berlaku. Tidak bisa serta merta memanifestasikan dalam wujud uang. Di sini, masisir memang tidak terbiasa menghadiahi materi sebagai bentuk penghormatan. Mereka menggunakan sisi rohani untuk memuliakan guru dengan cara yang beragam. Utamanya adalah mendoakan.


Masisir yang begitu kompleks jelas menyadari bahwa tidak semua masisir ada pada maqam al-tajrid, sebagian dari mereka ada yang harus bekerja (maqam al-kasb). Kendati demikian, kami –mungkin saya juga mewakili sebagian masisir- berharap agar bimbel tidak dijadikan ladang cuan.


Jika berasusmsi mereka yang mengikuti bimbel berbayar saja tidak keberatan, mengapa yang nggak join malah ngomel? Konsep tersebut tidak mempertimbangkan jangka panjang akibat dari bimbel berbayar. Berupa apa? Hilangnya gengsi masisir dalam bingkai acara yang berorientasi kepada keilmuan. Bisa juga saling iri antara guru bimbel gratis dan guru bimbel berbayar. Peradaban runtuh!


Ketahuilah bahwa kami dirasa kasihan sebab kekurangan dalam segi pemahaman. Sehingga tidak bisa mengikuti materi yang disampaikan langsung oleh dosen kuliah dengan baik. Kiranya lebih berat lagi jika ingin menambah jam belajar melalui bimbel harus ditarik biaya.


Kami mengapresiasi kultur dan budaya yang diwariskan oleh senior-senior masisir yang sama sekali tidak menarik tarif dalam segala hal yang berkaitan dengan pembelajaran. Kami tidak menginginkan polemik ini berakhir dengan kekecewaan mendalam akibat hilangnya kultur tersebut.


 Baca: Fenomena Bimbel Masisir; Kecanduan Bikin Sakau

Epilog

Sebagai konsumen bimbel, masisir harus cerdas memilih dan memanfaatkan usaha dari para senior, senat, dan lembaga-lembaga yang murni membuka tangan untuk mengajari materi kuliah. Tetap berusaha meningkatkan kualitas individu, sehingga tidak bergantung pada bimbel.


Akankah Allah tidak lagi memuliakan masisir yang berilmu dengan mengangkat derajatnya, melainkan dengan memperbanyak cuannya? Semoga menjadi haji yang mabrur ya. Sekian ocehan daku, terimakasih sudah memahami keresahanku.

هناك من يعيش للعلم، وهناك من يعيش بالعلم


____________________________________________

[1] Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim, halaman 79, Cet. Maktab Islami, tahun 1981.


Muhammad Syahrian Najah (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir)

LihatTutupKomentar