'

Mabadi Asyrah Lengkap Ushul Fiqih


Ilmu ushul fikih bagi kalangan pelajar ilmu agama, merupakan konsumsi wajib. Peranannya sangat vital dalam proses pelahiran hukum-hukum Islam. Berbagai macam corak metode yang digunakan dalam istinbath al-hukm (penemuan hukum) turut mewarnai keindahan ilmu ini.

Seperti biasa, sebelum mempelajari disiplin ilmu tertentu secara mendalam, hal penting yang harus dilakukan adalah mempelajari mabadi asyrah (sepuluh pokok) ilmu tersebut. Seseorang akan merasakan hasil yang maksimal, jika benar-benar menguasai mabadi asyrah ini. Dilanjutkan dengan pembelajaran tahap demi tahap melalui metode yang cocok untuk diterapkan.
1. Al-Ism (Nama Ilmu)
Nama disiplin ilmu ini yang paling populer adalah ushul fikih (أصول الفقه). Kata ushul adalah bentuk jamak dari “ashl” yang artinya dasar atau asal. Oleh sebab itum dinamai dengan ushul fikih, karena menjadi dasar lahirnya hukum-hukum Islam yang tercakup dalam ilmu fikih. Sebagian ulama menyebutnya dengan nama “Ushul Ahkam” yang mempunyai makna asal hukum-hukum. Penamaan semacam ini tertera dalam kitab-kitab ushul fikih, seperti “al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul” karya Imam al-Ghazali (wafat 505 H), dan “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” karya Imam al-Amidi (wafat 631 H).
2. Al-Ta’rif (Definisi)
Istilah “Ushul Fikih” tersusun dari dua kata, yaitu: ushul (أصول) dan fikih (الفقه). Oleh sebab itu, para pakar mendefinisikan dengan dua cara pandang. Pertama, “Ushul Fikih” menjadi sebuah nama ilmu yang berangkat dari dua kata yang disandarkan satu sama lain (التعريف باعتبار التركيب الإضافي). Kedua, memandang “Ushul Fikih” sebagai nama baku yang dimutlakkan untuk penyebutan disiplin ilmu ini. Penjelasan keduanya, sebagai berikut.

Pertama, ushul fikih terdiri dari dua kata, yaitu ushul dan fikih. Jika kita ingin mengetahui makna suatu istilah yang tersusun dari dua kata atau lebih (murakkab), maka harus mengetahui setiap kata tersebut secara terpisah.

Kata “Ushul” (أصول) secara etimologi merupakan bentuk jamak dari kata “ashl” (أصل), yang bermakna asal sesuatu atau pondasi. Sedangkan menurut terminologi, maknanya berkutat pada tiga hal, yaitu:
1. Dalil atau dasar hukum sesuatu. Seperti pada ungkapan:
الأصل في وجوب الحج قوله تعالى: ﴿وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ غِلَيْهِ سَبِيلًا﴾، أي: دليل وجوبه
Dalil diwajibkannya ibadah haji adalah firman Allah [QS Ali Imran: 97]
2. Kaidah atau aturan dasar, seperti pada ungkapan:
«الأمور بمقاصدها» أصل من أصول الشريعة، أي: قاعدة من قواعدها
“Setiap perkara bergantung dengan tujuannya” adalah salah satu dari kaidah syariat Islam.
3. Sesuatu yang unggul (rajih), seperti pada ungkapan:
عند تعارض الحقيقة والمجاز، فالحقيقة هي الأصل، أي: الراجح عند السامع
Ketika terjadi perselisihan –dalam suatu ungkapan- antara makna hakikat dengan makna majas, maka yang diutamakan bagi pendengar adalah makna hakikat.

Dari ketiga makna ushul secara istilah tersebut, makan pertama adalah makna yang dikehendaki dalam hal ini, yaitu: dalil atau dasar hukum. Makna ini tidak mengikat secar mutlak. Dengan artian, sebagian ulama memilih makna lain; kaidah atau rajih.

Adapun kata fikih (الفقه) secara bahasa adalah mengetahui dan memahami sesuatu. Sedangkan menurut istilah, fikih adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syariat berkenaan dengan perilaku orang mukallaf (akil balig) yang diambilkan dari dalil-dalil yang bersifat terperinci. Dengan demikian, definisi dalam tinjauan pertama ini melahirkan makna yang dipahami secara terpisah, kemudian digabungkan sehingga melahirkan takrif ushul fikih; adalah dalil-dalil yang menjadi sandaran atau sumber hukum-hukum dalam ilmu fikih.

Kedua, tinjauan kali ini menggunakan sisi pandang bahwa “Ushul Fikih” sudah menjadi satu kesatuan nama sebagai penyebutan atas disiplin ilmu tertentu (التعريف بالاعتبار اللقبي).  Dalam hal ini, para ulama berbeda dalam mendefinisikan udhul fikih. Secara garis besar, mereka terbagi menjadi dua golongan:
1. Ulama yang memahami makna ushul fikih sebagai nama, dan mendefinisikannya dengan menyifati ilmu fikih atau mengembalikan ke asalnya. Metode ini mengikuti takrif sebelumnya (التركيب الإضافي). Dengan demikian, takrif ushul fikih menurut mereka adalah mengetahui dalil-dalil fikih secara global, mengetahui metode penggalian hukum dari dalil tersebut, dan mengetahui status atau kondisi dari orang yang menggali hukum (mujtahid atau mustafid). Termasuk di antara ulama yang mendefinisikan ushul fikih dengan metode ini adalah Imam al-Baidhawi (wafat 685 H).
2. Sebagian ulama mendefinisikan ushul fikih murni dengan menganggap ushul fikih sebagai nama (menyatu) bagi suatu ilmu. Maka, ushul fikih adalah  ilmu yang memuat kaidah-kaidah yang bisa menghantarkan kepada proses penggalian hukum syariat dengan dalil-dalil terperinci. Imam Ibnu Muflih al-Hanbali (wafat 763 H) termasuk ulama yang senada dengan takrif ini.

Dari dua takrif laqabi (اللقبي), yang pertama merupakan takrif yang sering dipakai oleh para ulama. Perbedaan antar fikih dan ushul fikih, salah satunya ada pada pembahasan dalil. Dalam ilmu fikih, pembahsannya berkutat pada dalil-dalil yang bersifat tafsil atau terperinci, sedangkan dalam ushul fikih, pembahasannya mengenai dalil secara global.

Baca juga:
Mabadi Asyrah; Sepuluh Pokok yang Wajib Diketahui  Mabadi Asyrah Ilmu Tauhid  Mabadi Asyrah Ilmu Nahwu  Mabadi Asyrah Ilmu Shorof

3. Al-Maudhu’ (Pokok Pemahasan)
Pembahasan yang tercakup dalam ilmu ushul fikih pada intinya adalah mengenai dalil-dalil yang bersifat global, tidak terperinci dalam satu masalah dalil. Tetapi dalam perkembangannya, muncul beberapa pandangan ulama dalam menyikapi cakupan kajian ushul fikih.

Pertama, pendapat jumhur ulama mengatakan bahwa maudhu’ ushul fikih hanya berkutat pada dalil-dalil secara global yang darinya lahir hukum-hukum, bukan berkonsentrasi pada pembahasan hukum-hukum syariat. Sebab, hukum syariat masuk dalam pembahasan ilmu fikih.

Kedua, sebagian ulama mazhab hanafi berpandangan bahwa objek pembahasan dalam ushul fikih adalah hukum-hukum syariat. Adapun dalil-dalinya tetap dibahas secara mengalir.

Ketiga, sebagian ulama  mazhab hanafi dan Imam al-Taftazani (wafat 792 H) berpendapat bahwa pembahasan ushul fikih mencakup dalil-dalil dan hukum-hukum syariat secara bersamaan.
Sejatinya, perbedaan ini hanya dalam redaksi saja, tidak sampai kepada esensinya. Nyatanya, ketiga pendapat tersebut tetap mencantumkan dalil dan hukum –dalam ushul fikih-. Hanya saja, konsentrasinya berbeda antara satu dengan yang lain.
4. Al-Tsamrah (Manfaat atau Hasil)
Berikut ini beberapa manfaat yang bisa didapatkan dari mempelajari ushul fikih:
  • Mengetahui metode yang digunakan oleh para ahli fikih dalam melahirkan suatu hukum.
  • Menetapkan diri dalam memahami dali-dalil agama dengan pemahaman yang benar.
  • Mampu menganalisis pendapat yang unggul dan yang tidak dengan alasan yang tepat.
  • Meminimalisir potensi terjadinya kesalahan dalam memahami teks-teks agama dan mengambil hukum-hukum fikih yang terkandung di dalamnya.
5. Al-Fadhl (Keutamaan)
Keutamaan ilmu ushul fikih sudah pasti dan tidak diragukan lagi. Ia termasuk ilmu agama yang menunjang kepada keselamatan duni dan akhirat. Dari sisi pembahasannya, ilmu ini mempunyai kadar yang tinggi dalam menjelaskan dan meruntutkan hukum-hukum Islam. Dengannya lahir hukum-hukum yang mengatur orang-orang Islam atas perilaku di berbagai lini kehidupan. Sehingga kita bisa mengerti mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk.
6. Al-Nisbah (Nisbat atau Hubungan)
Ushul fikih masuk dalam kategori ilmu alat atau wasilah (ulum al-wasail). Perantara yang menghantarkan kepada ilmu yang dituju (ulum al-maqashid). Kita tidak mengerti bagaimana duduk permasalahan hukum dalam ilmu fikih, kecuali dengan mengkaji ushul fikih yang notabennya adalah asal muasal ilmu fikih. Kedudukannya sama seperti ilmu hadis sebagai alat atau sarana mengetahui berbagai macam status hadis Nabi.
7. Al-Istimdad (Pengambilan atau Referensi Dasar)
Ushul fikih lahir dipengaruhi oleh ilmu usuluddin (akidah), ilmu bahasa arab, dan penggambaran hukum-hukum Islam.
8. Al-Wadhi’ (Peletak Dasar)
Peletak dasar merupakan orang yang pertama kali mengkodifikasikan suatu ilmu, sehingga terkumpul dalam satu catatan atau kaidah besar, sehingga bisa dijadikan pegangan dan rujukan, serta membedakan ilmu tersebut dengan ilmu lain. Jadi, maknanya sangat luas, tidak terbatas pada penemu saja. Sebab, jika baru ditemukan pada waktu B, maka orang-orang yang hidup di zaman A tidak mengerti akan ilmu tersebut.

Peletak dasar Ilmu ushul fikih adalah Imam al-Syafi’i (Muhammad bin Idris al-Syafi’i, wafat 204 H). Beliau menuliskan kaidah inti yang bisa dijadikan rujukan dalam kitabnya yang sangat populer, yaitu kitab “al-Risalah”.

Imam Fakhruddin al-Razi (wafat 606 H) menjelaskan dalam kitabnya “al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa ‘Ilmuhu”: “Orang-orang yang hidup sebelum Imam al-Syafi’i telah berbicara mengenai permasalahan-permasalahan dalam ushul fikih, lengkap dengan proses pengambilan dalil dan sanggah-menyanggah. Tetapi, mereka tidak memiliki satu aturan baku yang bisa dijadikan pedoman dan referensi mengenai dalil-dalil agama dan proses istinbath al-hukm (pengambilan hukum). Maka dari itu, Imam al-Syafi’i mengumpulkan kaidah-kaidah besar yang dibakukan, sehingga bisa menjadi rujukan pasti perihal mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syariat.”
9. Al-Hukm (Hukum Mempelajari)
Hukum mempelajari ushul fikih adalah fardu kifayah. Kewajiban ini gugur jika dalam satu daerah sudah ada orang yang menekuninya. Setiap individu tidak wajib mempelajari ilmu ini, bahkan kita ‘diperbolehkan’ untuk taklid dan meminta fatwa kepada ahli ilmu. Dikatakan bahwa bagi orang yang ingin berijtihad, fatwa, dan memberi status hukum, mempelajari ilmu ini hukumnya wajib atau fardu ain. Ini menandakan atau menjadi suatu titik tekan supaya orang tidak boleh berfatwa ala tong kosong, alias tanpa ilmu.
10. Al-Masail (Persoalan atau Permasalahan)
Imam al-Ghazali (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, wafat 505 H) menerangkan bahwa masail (permasalahan-permasalahan0 ushul fikih merujuk pada empat aspek utama, yaitu: hukum-hukum Islam (sebagai buah ijtihad), dalil-dalil agama (mencakup Al-Qur’an, sunah, dan ijma’), metode istinbath al-hukm (proses pengambilan hukum dari suatu dalil), dan pembahasan mengenai mujtahid dan mukalid (syarat dan sifat keduanya).

Dengan mengetahui sepuluh pokok tersebut, kita sudah menginjakkan satu kaki di pintu gerbang ilmu ushul fikih. Semoga bermanfaat!
LihatTutupKomentar