'

Fenomena Bimbel Masisir; Kecanduan Bikin 'Sakau'


Di dunia ini, terdapat formula-formula yang terus berulang. Salah satunya adalah status personal yang baik akan mempengaruhi hal-hal yang dinisbatkan kepadanya berstatus baik. Baginda Nabi Muhammad –shallahu ‘alaihi wa sallam- yang berstatus rasul terbaik, menjadikan umatnya bersatus umat terbaik. Al-Azhar al-Syarif sebagai salah satu penyandang status instansi pendidikan terbaik, menjadikan murid-muridnya berstatus pelajar terbaik.

Status tersebut tidak bergeser ketika sisi pandang terhadapnya berangkat dari sudut penisbatan. Tetapi, ketika ditinjau dari kualitas individualnya, maka bergantung dengan ketakwaannya, bergantung dengan ketekunannya. Termasuk dari penyandang status pelajar terbaik adalah Mahasiswa Indonesia Di Mesir (Masisir).

Universitas al-Azhar menggabungkan dua corak diktat atas mahasiwa-mahasiswanya, yaitu mempertahankan materi turats (kitab klasik) dan mengambil buku-buku kontemporer. Sewajarnya, mahasiswa al-Azhar –dengan proses seleksi- sudah tidak kaget dengan hal itu. Mereka harus mampu menaklukkan diktat-diktat itu.

Bertambahnya jumlah Masisir dari tahun ke tahun, sekiranya menampakkan permasalahan baru, atau permasalahan lama yang sekarang semakin tampak. Lonjakan jumlahnya tergolong ekstrim, bisa sampai dua kali lipat, seperti di tahun 2017 meloloskan kurang lebih 1400 mahasiswa baru.

Di majelis ngopi, biasanya saya dan teman-teman ngobrol ngalor-ngidul, termasuk masalah yang dihadapi oleh Masisir. Dari mulai kuantitas, kualitas secara umum, masalah pemikiran, sampai masalah kemampuan berbahasa –baik membaca dan berbcara- yang ternyata keduanya bukan barang langka.

Tulisan ini masih ada sangkut pautnya dengan tulisan saya sebelumnya: Aneh Tapi Nyata; Mampu Baca Kitab,Nggak Paham Nahwu-Shorof. Semuanya berangkat dari keresahan saya –mungkin juga keresahan Anda- terkait kelemahan kemampuan bahasa Masisir yang seharusnya sudah cakap atau setengah cakap, karena studinya di negeri Arab.

Kelemahan bahasa ini menyebabkan kesulitan dalam memahami diktat-diktat yang semuanya berbahasa Arab, kecuali bahasa Inggris (asing). Masalah itu lebih terasa saat yang dihadapi adalah kitab turats. Kemudian sebagian dari kita yang kesulitan mencerna kata dalam diktat, mencari kawannya untuk belajar bersama. Persiapan mereka jauh-jauh hari sebelum ujian. Sebab, ini belajar bareng, bukan bimbingan belajar yang terima matang saja.

Saat ini, bimbingan belajar (bimbel) merebak dimana-mana. Ada yang bersifat formal (terorganisir) dan non-formal. Ini memang bukan barang baru, tetapi kalau dibiarkan begitu saja, takutnya bimbel ini bikin kecanduan. Dari mulai tingkat pertama, bahkan samapi tingkat empat, masih ada yang mengandalkan bimbel. Lalu, pertanyaannya, “Mengapa mahasiswa tingkat akhir pun masih ada yang mengandalkan bimbel?” Kita bahas pelan-pelan.

Secara dzatiah, tidak ada yang salah dengan bimbel. Sudah jelas itu kegiatan positif. Namun, yang perlu diperhatikan adalah dosisnya, jangan sampai kelebihan, bisa sekarat nanti. Bimbel berbeda dengan ngaji atau talaqqi. Bimbel itu privat seperti jam tambahan bagi anak-anak yang mau ujian nasional (dulu). Seseorang menjelaskan secara pelan-pelan, pakai bahasa Indonesia, dan bersifat temporal atau hanya untuk kebutuhan ujian saja. Habis ujian, ya bebas lagi. Jadi, bimbel yang saya maksud bukan belajar privat yang bertahap dan istikamah demi menunjang keilmuan yang bukan terfokus hanya pada ujian.

Secara sederhana, rukun-rukun bimbel ada tiga, yaitu: guru bimbel (pengampu), murid bimbel (yang diampu), dan materi (muqarrar/diktat). Hukum wadh’inya –dalam hal ini ialah sebab- adalah menghadapi ujian, tidak paham keterangan dosen, malas masuk kelas, sulit belajar sendiri, dan yang sejenisnya. Semua penyebabnya hanya berjangka pendek, yang penting bisa mengerjakan ujian.

Rukun pertama; guru bimbel (pengampu). Sebagai seorang yang lebih mengetahui, maka sudah sewajarnya ia menolong temannya yang membutuhkan bantuan. Bahkan, jika ia tidak mau, padahal dia mampu, akan terjadi masalah yang lebih besar. Namun di sisi lain, belas kasihan guru ini bisa seolah-olah memanjakan murid bimbel. Sehingga, apapun yang diminta oleh murid, pasti dituruti. Akan lebih baik, jika guru bimbel tetap menggodok mental murid untuk sesegera mungkin berhenti dari bimbel. Hal ini akan menjadikan murid bermental mandiri, dan berusaha mengentaskan permasalahan keilmuannya secara bertahap dan terus-menerus. Artinya, tidak mengandalkan bimbel. Beres ujian, lebih giat belajar dan memperbaiki kekurangannya. Bukan sebaliknya, “Nyantai aja lah, nggak usah belajar terlalu. Nanti ngikut bimbel aja, kelar.”

Bimbel sangat berbeda dengan diskusi atau kajian. Jika dalam lingkaran diskusi, maka yang bertugas silih berganti. Bisa pula dibagi bab-babnya. Hari ini si A sebagai presentator, besok si B, dan seterusnya. Atau hari ini membahas beberapa bab yang sudah di bagi kepada masing-masing anggota diskusi, kemudian menjelaskan satu per satu.

Guru bimbel hendaknya bisa mengarahkan muridnya kepada metode yang lebih baik, dari pada mengandalkan bimbel itu sendiri. Seperti diskusi, misalnya. Tentu hai ini jauh lebih baik bagi murid dari sekedar duduk manis dan mendengarkan guru bimbel saja.

Kedua; murid bimbel. Mereka yang membutuhkan pelajaran tambahan ini berbeda-beda –dengan kesamaan, sama-sama belum mampu belajar secara mandiri-. Ada yang sudah rajin belajar dan kuliah tetapi belum bisa mencerna pelajaran dengan baik, sehingga membutuhkan asupan tambahan. Ada yang kegiatan belajarnya mengikuti kalender akademik kampus. Jika kampus libur, Maka belajar juga libur. Berarti dia hanya mementingkan “sukses ujian”. Ada pula yang sama sekali tidak kenal kuliah, buku diktat pun keteteran, belajar di luar kuliah juga jarang atau bahkan tidak pernah. Dan mungkin ada beberapa tipe lagi. Poinnya adalah kita bisa membedakan status dari murid bimbel. Mana yang bagus, mana yang dimaafkan (uzur), mana yang bermasalah, dan mana yang bermasalah banget.
Sudah pas kiranya bagi guru bimbel menerima permintaan mengajar temannya yang kurang mampu dalam memahami diktat. Di sisi lain, guru bimbel mempunyai tanggung jawab dalam memupuk semangat belajar murid bimbelnya. Jadi, tidak sekedar pentas seni keilmuan, tapi benar-benar menuntun ke ‘jalan yang benar’.

Tidak berhenti sampai situ. Permasalahan murid bimbel ada pada proyeksi dan orientasi masa depannya. Ada yang mementingkan keilmuan dan sangat haus ilmu, sehingga semuanya dilahap. Ada yang santai saja, jika bisa ya alhamdulillah, jika tidak, ya tak mengapa. Ada pula yang yang tidak mementingkan ilmu, melainkan hanya ujian. Yang terpenting ujian bisa mengerjakan, syukur-syukur bisa najah (naik tingkat).

Rasanya miris sekali, mendengar ada mahasiwa tingkat akhir yang masih saja mengandalkan bimbel. Ini membuktikan bahwa orientasi belajarnya hanya sebatas ujian. Sehingga mentalnya belum mandiri dan terus mengandalkan orang lain. Masih bisa ditolelir jika yang membutuhkan bimbel itu mereka yang berada di tingkat pertama. Tingkat kedua, saya rasa sudak maksimal itu. Tingkat selanjutnya harus bisa mandiri. Maka, murid bimbel –tingkat berapapun- dituntut bisa mengatur kegiatan belajarnya. Mengerti metode yang tepat untuk dirinya, agar tidak bergantung pada bimbel.

Di satu kesempatan, boleh mengikuti bimbel, dengan catatan sadar akan masalah keilmuannya. Semisal lemah dalam bahasa, sulit membaca kitab, sulit memahami, maka seharusnya di luar bimbel ia bisa meminimalisir permasalahannya dengan mengaji nahwu-sharaf secara bertahap dan kontinu –baik dengan masyayikh atau dengan temannya-. Bisa dengan belajar privat atau lingkar diskusi dan sebagainya. Belajar privat yang saya maksud adalah belajar secara terus menerus dengan tujuan bisa mengentaskan masalah keilmuannya, bukan kebutuhan ujian semata. Misalnya, belajar Mutammimah al-Ajurrumiah kepada teman, dari awal sampai khatam.

Lalu, bagaimana dengan mahasiswa yang belum mampu belajar sendiri, tetapi tidak mengikuti bimbel, padahal ujian sudah di depan mata? Ini lebih kacau lagi. Dia tak sadar kalau dirinya itu belum mampu. Yang seperti ini, hukum bimbel adalah wajib atasnya. Setelah ujian berlalu, kewajibannya adalah belajar secara bertahap dan istikamah. Kuncinya satu, sadar.

Ketiga; materi diktat. Diktat –atau yang lebih sering kita sebut muqarrar- secara garis besar mempunyai dua corak; klasik dan kontemporer. Seharusnya mahasiswa al-Azhar dapat menguasai kedua corak tersebut. Kitab turats yang cenderung singkat, dengan kandungan makna yang luas. Kitab kontemporer identik dengan penjabaran yang menyederhanakan kitab-kitab turats. Mudahnya seperti itu. Secara kepantasan, menguasainya bukan sebuah tantangan. Namun, dikarenakan perkembangan zaman, hal itu menjadi tantangan yang harus kita taklukkan. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Diasah terus-menerus lama-lama tajam juga. Dengan syarat, belajarnya sesuai dengan metode yang cocok.

Bukankah kita tahu tujuan apa kita ke Mesir? Lalu mengapa pura-pura tak tahu? “Aku sadar kok, tapi aku belum bisa bergerak”. Ingat, kita ini seorang pelajar. Agar bisa dikatakan seorang ‘penulis’, maka profesi atau kegiatannya menunjang pada keproduktifitasan menulis. Supaya bisa dipanggil ‘penyair’, maka harus sering menganalisis, hingga melahirkan syair-syair puitis. Agar dicap sebagai ‘tukang tidur’, maka aktivitas sehari-harinya adalah tidur. Apakah semua orang bisa dikatakan tukang tidur, dengan alasan “setiap hari orang pasti tidur”? Tentu tidak. Maka, aktivitas apa yang kita lakukan sebagai wujud tanggung jawab atas gelar “Pelajar”.

Jangan sampai kuantitas yang banyak, menurunkan kualitas. Masisir tetaplah Masisir. Pelajar dari Indonesia yang berhak menyandang gelar “azhari”, termasuk saya pribadi. Walaupun sampai akhir hayat, mungkin saya tidak pantas menyandang gelar tersebut. Setidaknya, pernah menyandang status “Berpotensi Azhari”. Kalau ada orang ngomong:
إذا كثر شيء، رخص
Maka, kita berharap Masisir bukan termasuk golongan itu. Mari saling mengingatkan, demi kebaikan kita bersama.
LihatTutupKomentar