Biasanya, setiap orang mempunyai obsesi dalam hal tertentu. Berangkat darinya, ia berusaha mewujudkan atau sekedar bisa merasakannya. Sehingga muncul petanyaan dalam benaknya, “Bagaimana cara saya merealisasikan keinginanku?”. Nah, di dunia santri atau pelajar –yang menekuni di bidang- agama, kiranya tidak satu pun dari mereka yang tidak terobsesi dengan “baca kitab”.
Di Indonesia, pesantren merupakan salah satu tempat, dimana interaksi dengan literasi Arab sangat kental, lebih dari tempat lain. Santri-santri bukan iri dengan temannya yang berduit sekarung, atau berpakaian modis atau hypebis. Mereka hanya iri melihat teman sebaya lainnya lebih pandai dalam hal keilmuan, baca kitab salah satunya.
Dahulu –saat saya di pesantren-, saya mempunyai pecut semangat dalam mempelajari gramatika bahasa Arab. Propaganda “Kalian harus bisa nahwu-shorof. Jika tidak, jangan harap bisa baca kitab” dari para pengurus atau pengajar, sangat membekas laiknya kobaran api dari orator ulung. Saya rasa, saya tidak sendirian dalam hal ini.
Alhasil, santri-santri belajar giat dari tahap yang ditentukan, hingga tahap lanjutan. Mendalami materi dengan membeli kitab di luar diktat sebagai penunjang, bahkan tak jarang dibuat lingkaran diskusi mengenai gramatika bahasa Arab. Namun, terkadang masih ada yang belum bisa baca kitab juga, walaupun sudah rajin belajar. Sabar, ini ujian.
Stereotip tentang baca kitab tersebut nyaman saja di kepalaku. Saya masih bertahan dengan kata-kata klise itu. Sampai akhirnya, saya berada di lingkungan baru, di Mesir tepatnya. Bertemu dan berinteraksi –baik langsung atau tidak- dengan orang-orang pilihan yang menjadi delegasi Indonesia untuk melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar.
Tulisan ini akan dipahami sebagai pembuka aurat Mahasiswa Indonesia Di Mesir (Masisir), jika dibaca oleh orang yang berkepala ambuba (red: tabung gas). Tetapi, bagi mereka yang terbuka dengan kritik sosial yang membangun, tulisan ini setidaknya bisa menjadi alarm.
Subhanallah, fakta ini mengejutkan! Tidak selebay itu, Bung. Dalam berbagai forum diskusi, atau sekedar mendengar teman Masisir yang membaca teks Arab dengan suara agak keras, saya menyadari ada kejanggalan yang harus dituntaskan. Ternyata, stereotip itu 'membohongiku'.
Sebagian dari Masisir banyak yang belum bisa baca kitab. Itu tingkatan terparah. Sebagian lain sudah bisa, tapi masih acakadut, sehinggah dianggap kurang bisa. Sejatinya kalimat itu hanya sebagai penghalus saja, tidak lebih.
Saya sempat merasa gumun (red: terkejut), kemudian kembali teringat quote kiaiku, “Ojo Gumunan”. Atas dasar itu, saya akan mencoba menjadikan kritik ini bersifat solutif. Sebagian kita berhasil berinteraksi dengan teks-teks Arab –baik turats maupun kontemporer- dalam pemahaman dasar. Mereka bisa memahami tulisan dalam kitab. Bukan tidak paham, hanya belum bisa baca dengan benar. Untuk materi ringan sih masih tergolong aman. Tetapi, tak jarang juga yang masih sangat kesulitan, walau perihal mubtada-khabar.
Contoh kasusnya begini, ada teks:
"قال عمر بن الخطاب –رضي الله عنه-: "تعلموا العربية، فإنها تثبت العقل، وتزيد في المروءة
Mereka mampu memahami makna global yang terkandung dalam teks tersebut. Ketika diminta untuk membaca dengan detail per kata tanpa wakaf (disukunkan bunyi akhir kata), bikin geleng-geleng kepala. Dalam ruang orang non-arab, kenapa bisa begitu?
Indikator Persoalan
Saat kita bersentuhan dengan kompetensi berbahasa, otomatis kita bersinggungan dengan empat aspek penting dalam bahasa. Empat aspek yang menentukan kemahiran seseorang dalam berbahasa, yaitu: mendengar, membaca, berbicara, dan menulis. Empat aspek tersebut juga masuk dalam tatanan bahasa Arab. Seseorang akan dapat berbicara dengan bahasa tertentu –dalam hal ini bahasa arab-, ketika sudah terbiasa melakukan tiga aspek pertama. Adapun aspek menulis, masuk dalam penyempurnaan.
Secara umum, kita bisa memahami suatu pernyataan dalam bahasa Arab melalui dua faktor; mengetahui kosa kata dan mengerti gramatikanya. Faktor utamanya bukan gramatika. Jadi untuk sekedar memahami saja, sebenarnya peran mufradat adalah intinya inti. Dampak yang timbul adalah pemahaman yang didapatkan hanya mengambang saja, sangat jauh dari komperehensif. Alasannya, ketelitian dalam menangkap makna yang dibawa oleh suatu teks atau ucapan, bergantung dengan kecermatan dalam memahami diksi.
Orang yang tidak menerapkan gramatika dalam aktivitas membaca –atau lainnya- sangat berpotensi jatuh dalam kesalahan. Bahkan potensi itu menjadi kepastian, jika di pandang dari sisi pelafalan dalam membaca. Potensi salah dalam memahami teks sangat terbuka lebar. Jangan dikira kesalahan memahami teks –yang berangkat dari ketidaktahuan akan gramatika- tidak berbahaya. Justru kesalahan berpikir sering bermula dari kesalahan memahami teks. Dengan gengsi yang tinggi sebagai penyandang status mahasiswa Al-Azhar Mesir, dikhawatirkan lepas kontrol, hingga melewati batas yang hanya berakibat masuk dalam golongan “sesat dan menyesatkan”.
Solusi Permasalahan
Pertama, buka mata hati kita. Sehingga kita dapat mengetahui kemampuan yang asli. Sering kali Masisir dibutakan oleh sanjungan atau sekedar anggapan orang lain bahwa Masisir itu orang-orang hebat dan terpilih. Hal tersebut tidak membawa energi positif jika hanya berhenti dalam lubuk keangkuhan saja. Dengan mengerti kemampuan diri, gengsi akan menurun. Mau tidak mau, gengsi harus tunduk dengan kebutuhan primer seorang pelajar; ilmu.
Kedua, belajar secara runtut, sesuai dengan tingkatan. Tidak ada yang salah dari seorang azhari yang bolak-balik ngaji kitab al-Ajurrumiah, tidak perlu risau dengan anggapan miring orang yang semuanya pasti ngawur.
Ketiga, apapun jurusan keilmuan yang ditekuni secara khusus, tidak melalaikan pentingnya ilmu bahasa. Ilmu bahasa mencakup berbagai disiplin ilmu yang sangat penting, demi menunjang kemaksimalan dalam memahami ajaran agama.
Keempat, konsultasi dengan guru, teman, tetangga, dan lainnya, yang dianggap mampu membantu mengentaskan kita dari permasalahan ini. Minta diajari bagaimana cara membaca dengan baik dan benar, cara mengartikan, menguraikan, menjelaskan, hingga menyimpulkan kandungan teks yang dibaca. Karena, membaca kitab itu tidak sesimpel yang dibayangkan. Tahapan demi tahapan harus dilalui dengan sabar. Hal itu lebih mudah tercapai jika kita menjadi pihak yang aktif, bukan pasif dalam metode belajar. Sehingga terjadi keseimbangan antara asupan materi dan praktiknya.
Mungkin itu saja rekomendasi dari saya. Selanjutnya, kita akan mengetahui metode yang paling cocok bagi masing-masing individu. Sebab, yang lebih mengerti diri bukan orang lain, melainkan diri sendiri, dengan tanpa menutup ruang diskusi, kritisi, dan solusi. Allahumma, Futuhan!