'

Mabadi Asyrah Ilmu Nahwu



Ilmu nahwu adalah ilmu yang sangat penting dipelajari bagi siapa pun yang ingin belajar agama secara komprehensif. Tergolong dalam kategori ulum al-wasail atau perangkat yang diperlukan dalam memahami ulum al-maqashid (ilmu-ilmu yang menjadi tujuan utama), seperti tafsir dan hadis.

Dikatakan bahwa ilmu nahwu bergandengan dengan ilmu shorof merupakan induk dari seluruh disiplin keilmuan Bahasa Arab. Dengan demikian, apabila ingin memahami Bahasa Arab dengan baik dan benar, maka harus menguasai ilmu nahwu-shorof terlebih dahulu.


Dalam tulisan kali ini, saya akan membahas tentang sepuluh pokok (mabadi asyrah) yang wajib diketahui oleh pemula dalam mempelajari ilmu nahwu. Saya sajikan dengan singkat dan tetap memperhatikan kejelasannya, berikut pembahasannya.

1. Al-Ism (Nama Ilmu)
Nama “Nahwu” diambil dari Bahasa Arab (النحو) yang berarti arah. Bentuk kata tersebut adalah masdar atau akar kata. Namun “Nahwu” sudah melalui proses perpindahan makna. Sebenarnya makna yang dikehendaki sebagai nama ilmu ini adalah “Manhuw” (المنحوّ) yang berbentuk isim maf’ul, yang berarti “ilmu yang mempunyai arah/tujuan tertentu”. Kemudian, makna asli tersebut diserap dan dikandung oleh kata “Nahwu” -dalam bentuk masdar-, dengan tujuan memudahkan dan penyingkatan, karena kata tersebut (nahwu) lebih sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Penamaan ini masuk dalam kaedah “إطلاق المصدر وإرادة اسم المفعول” (menggunakan istilah berbentuk masdar, namun makna yang dikehendaki sesuai dengan bentuk isim maf’ulnya).

Disamping alasan penamaan tersebut, terdapat riwayat lain yang menyebutkan bahwa latar belakang penamaan ilmu ini dengan nama “Nahwu” merupakan sebuah keputusan yang dipilih oleh Imam Abu al-Aswad al-Du’ali. Pada saat itu, Amirulmukminin Imam Ali bin Abi Thalib memerintahkan kepada Imam Abu al-Aswad untuk menyusun atau mengkodifikasikan ilmu yang khusus membahas tentang pelafalan yang benar dalam Bahasa Arab, khususnya pada bunyi huruf akhir. Imam Ali memerintahkannya dengan redaksi “انح هذا النحو” (laksanakanlah jalan ini, atau ikutilah arah ini). Kemudian, setelah selesai beliau mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Imam Ali, beliau menamai ilmu ini dengan nama “Nahwu”, sebagai rasa optimis dan mengambil berkah dari ucapan Imam Ali. Dari situlah muncul nama “Nahwu”.

Dalam Bahasa Indonesia, nama ini sudah diserap menjadi kata “nahu”. Tetapi karena penggunaannya masih jarang, maka penyebutannya sesuai standar KBBI jarang digunakan. Ini tidak masalah ya, sama seperti kata “sholat” yang diserap secara baku menjadi “salat”.

2. Al-Ta’rif (Definisi)
Ilmu nahwu -tersusun dari dua kata, yaitu ilmu dan nahwu- secara etimologi ilmu berarti sebuah pengetahuan (dengan makna umum). Sedangkan “nahwu” memiliki beberapa makna, yaitu arah, ruang, tujuan, taksiran atau kadar, macam, bagian, sebagian, dan masih banyak lagi. Dikatakan bahwa “nahwu” memiliki 14 makna dalam bahasa, 6 di antaranya adalah yang paling masyhur, yang telah terkumpul dalam satu bait syair:
قَصْدٌ وَمِثْلٌ جِهَةٌ مِقْدَارُ   *    قِسْمٌ وَبَعْضٌ قَالَهُ الْأَخْيَارُ
Secara terminologi, ilmu nahwu adalah Ilmu yang berisi kaedah-kaedah dasar untuk mengetahui hukum akhir kata, baik secara perubahannya (i’rab/mu’rob) maupun ketetapannya (bina’/mabni). Seperti contoh: جَاءَ زَيْدٌ
Kita bisa mengetahui hukum atau status dari huruf akhir tiap dua kata tersebut. Lafaz “Ja’a” adalah kata kerja, hukumnya mabni (tetap) dengan harakat fathahnya, dan “Zaidun” adalah nama orang atau kata benda, statusnya sebagai subjek dan mu’rab (bisa berganti-ganti sesuai dengan kondisinya).

Dalam penjabaran makna istilah, para ulama tidak hanya terpaku pada satu pengertian. Banyak dari mereka yang mengartikan ilmu nahwu dengan redaksi yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar, maksud dan tujuannya sama. Jika terdapat perbedaan, selisihnya hanya sedikit, entah pengurangan atau penambahan dalam tinjauan makna.

3. Al-Maudhu’ (Pokok Pembahasan)
Ilmu ini membahas kondisi kata dalam bahasa Arab yang dipandang dari berbagai sisi. Tetapi  mempunyai titik fokus pada akhir kata, seperti yang sudah dibahas di atas. Simpelnya, kapan suatu lafaz bisa dihukumi mabni, kapan pula dihukumi mu’rab.

Berbeda dengan ilmu shorof yang memiliki fokus pembahasan mengenai akar kata (etimologi dasar) dan proses perubahan bentuknya mengikuti makna yang dikendaki (elaborasi kata/tasrif).

4. Al-Tsamrah (Manfaat Atau Hasil)
Selayaknya ulum al-wasail (ilmu perangkat) lainnya, manfaat utama yang kita dapatkan dari mempelajari ilmu ini adalah bisa memahami teks-teks arab dengan benar, termasuk Al-Qur’an dan hadis. Jika banyak kasus orang yang salah dalam memahami Al-Qur’an dan hadis khususnya, maka lebih baik diminta untuk belajar ilmu nahwu dulu deh, :D Selain itu, ilmu ini menjaga kita dari kesalahan dalam berkomunikasi, baik dengan ucapan, maupun tulisan. Dengan memahami ilmu nahwu, kita juga lebih mudah memahami ilmu-ilmu lain dalam cakupan ilmu Bahasa Arab, seperti balaghah dan insya’.

5. Al-Fadhl (Keutamaan)
Keutamaan ilmu nahwu sangat jelas di mata kita. Sebab ilmu ini merupakan induk dari ilmu Bahasa Arab lainnya. Dua bait syair yang sangat indah mengenai kemuliaan ilmu ini;
النحو زين للفتى  *  يكرمه حيث أتى
من لم يكن يعرفه  *   فحقه أن يسكتا
“Nahwu menjadi penghias seseorang * mengangkat derajatnya kapan dan dimana pun ia berada
Barang siapa yang belum mengetahui ilmu nahwu * maka ia hanya berhak untuk diam.”

6. Al-Nisbah (Nisbat Atau Hubungan)
Hubungan ilmu nahwu dengan ilmu-ilmu lain, dipandang dari satu sisi, adalah berbeda. Setiap ilmu mempunyai ruang yang berbeda-beda. Namun di sisi lain, ilmu ini sangat erat kaitannya dengan ilmu Bahasa Arab, bahkan dengan ilmu syariat pun terdapat hubungan, sebagaimana hubungan sarana dengan tujuan.

7. Al-Istimdad (Pengambilan Atau Referensi Dasar)
Kaidah-kaidah dalam ilmu nahwu diambil dari Al-Qur’an, hadis Nabi, dan kalam Arab yang masih terjaga orisinalitasnya (fasih), baik berupa prosa maupun syair. Para ulama berbeda pendapat dalam kemutlakan pengambilan hukum atau kaidah nahwu dari sumber-sumber selain Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an disepakati secara mutlak bisa dijadikan dalil (syahid) yang melahirkan hukum-hukum dalam ilmu nahwu. Adapun hadis Nabi, ada yang memutlakkan ada yang tidak. Maksud dari “tidak memutlakkan” adalah bolehnya mengambil sumber lain jika hadis ini dirasa kurang cocok dalam ilmu bahasa untuk melahirkan kaidah nahwu. Sebab, hadis Nabi tidak semuanya diriwayatkan secara lafaznya, ada ppula yang diriwayatkan maknanya saja, sedangkan lafaznya dari perawi sahabat atau tabiin. Tetapi, pendapat yang lebih kukuh adalah kemutlakan hadis Nabi sebagai sumber ilmu nahwu.

Adapun kalam Arab (selain Al-Qur’an dan  hadis Nabi) bersifat tidak mutlak. Artinya, tidak harus apa yang ada dalam kalam Arab tersebut dijadikan kaidah nahwu. Banyak kasus misalnya ada syair yang masyhur di kalangan Arab, namun tidak dijadikan patokan untuk membuat kaidah.

8. Al-Wadhi’ (Peletak Dasar)
Peletak dasar ilmu nahwu sesuai dengan pendapat yang paling unggul dan menjadi pendapat jumhur ulama nahwu, adalah Imam Abu al-Aswad al-Du’ali atas perintah dari Imam Ali bin Abi Thalib. Beliau mempunyai nama asli Zhalim bin Amar dari Bani Kinanah. Dilahirkan di Kota Kufah, Irak, dan menjabat sebagai hakim atau qadhi di Kota Basrah, Irak. Beliau juga orang yang pertama kali membuat titik pada huruf hijaiah, hingga kita dengan mudah membedakan ba’, ta’, tsa’ dengan titik yang berbeda-beda. Beliau meninggal pada usia 85 tahun, disebabkan oleh serangan wabah ganas yang terjadi pada tahun 69 H. (670-an M.) di Basrah.

9. Al-Hukm (Hukum Mempelajarinya)
Hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah. Cukup diwakilkan satu orang dalam setiap wilayah, maka sudah bisa menggugurkan kewajiban tersebut. Ada ulama yang berpendapat bahwa mempelajarinya adalah kewajiban setiap individu, sebab ilmu ini adalah perantara memahami agama, dan memahami agama adalah kewajiban. Namun yang dimaksud wajib di sini adalah bagi orang yang ingin mendalami agama islam secara menyeluruh.

10. Al-Masa’il (Permasalahan-Permasalan)
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam ilmu nahwu mencakup banyak hal, termasuk di antaranya adalah kata  kerja dan kata sifat sebagai fi’il (predikat), dan kata benda -bisa saja kata sifat- sebagai fa’il (subjek) atau maf’ul (objek).

Demikian penjabaran singkat mengenai mabadi asyrah ilmu nahwu. Semoga dapat dijadikan salah satu referensi yang bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.

LihatTutupKomentar