'

Islam Setengah Matang; Dikotomi Agama dan Fitrah Kebangsaan


Gerakan Islam separatis tak henti-hentinya menyerang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka kerap menjadikan nama Tuhan sebagai tameng kriminalitas, baik berupa ideologi maupun aksi. Memisahkan Islam dari segala aspek duniawi, termasuk mencintai bangsa dan negeri. Dengan mengata-ngatai pemerintah “kafir”, setidaknya mereka berhasil membuat kekacauan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu, mereka acuh tak acuh seolah tak terjadi apa-apa.
Sejatinya, tujuan mereka adalah persatuan umat Islam. Tetapi sosialisasi teori dan taktik pengejawantahan mereka, menjadi masalah serius. “Islam tidak boleh disekat oleh kebangsaan dan kenegaraan. Hapus Indonesia, saatnya umat Islam di seluruh dunia bersatu!”, disusul ramai-ramai takbir dari para jemaah. Pada puncaknya, berbagai aksi dijalankan, hingga ada gerakan teror serentak yang mengatasnamakan Tuhan.

Dari beberapa dasawarsa lampau, rekaman peristiwa-peristiwa teror masih saja awet. Bahkan sesinya diteruskan oleh kolega-kolega yang belum saja tobat. Dari pembajakan pesawat pada Maret 1981, bom Candi Borobudur 1985, bom Bali 2002, hingga kasus penggerebekan markas dan gudang senjata di Surabaya pada akhir April lalu. Pegal rasanya telinga ini mendengar kabar-kabar semacam itu terus berulang.

Semua itu berawal dari produk pemikiran yang keliru. Tetapi, mengapa pemikiran model begitu gampang menular? Salah satu penyebabnya adalah nostalgia romantisme sejarah. Hal ini sering dijadikan jurus pemikat gerakan separatis yang sesak dengan ego keislamannya. Menjadikan cerita dinasti-dinasti Islam sebagai pengganti dongeng pengantar tidur. Dengan sedikit bumbu dan argumen absurd, berduyun-duyun orang terpengaruh dengan keindahan islam zaman khilafah yang mereka hadirkan.

Jika diamati dengan seksama, sekte Islam separatis ini sangat gila kekuasaan. Keinginan menguasai dunia dengan menyatukan seluruh umat islam dan menghapus batas negara merupakan bukti konkrit permainan politik dengan dalih persatuan Islam. Anehnya, hujatan yang paling kejam terhadap ulama atau muslim yang dekat dengan penguasa, terlontar dari mulut mereka.

Agama dan Fitrah Kebangsaan
Langkah pertama yang menjadi pijakan mereka untuk mewujudkan ‘persatuan umat’ adalah menghapus konsep kebangsaan dan kenegaraan. Sehingga, tercipta opini publik bahwa nasionalisme bukan ajaran islam. Dengan begitu, mudah bagi mereka untuk membangun komunitas yang besar demi menghancurkan kedaulatan negara. Kenyataannya, cinta tanah air adalah fitrah manusia, tidak semudah itu bisa dihilangkan. Buktinya apa? Remeh saja, kalau kita merantau, pasti sering merindukan kampung halaman.

Mereka meyakini bahwa Islam adalah agama yang difitrahkan oleh Allah untuk manusia. Tetapi, keyakinan itu mereka jadikan legitimasi atas kewenangan mencelakai non-muslim, dengan alasan; mereka menyalahi fitrah dalam beragama. Di sisi lain, mereka menolak konsep nasionalisme sebagai bagian dari fitrah. Juga menolak keberagaman -dengan segala ciri khas yang berkembang di banyak bangsa dan suku- sebagai bagian dari sunatullah.

Islam datang tidak bertujuan menghapus fitrah manusia, bukan pula meracuni nurani yang semula suci. Justru kedatangannya menjadi pedoman yang mengatur bagaimana cara memaksimalkan kefitrahan dengan metode yang benar.

Ada perkataan yang sangat menarik mengenai korelasi Islam dengan fitrah yang disampaikan oleh Imam Ibnu al-Qayim al-Jauziah dalam Zad al-Ma’ad-nya, “Islam datang tidak menghapus cahaya fitrah, melainkan menguatkannya.” Kesucian fitrah yang menyatu dengan iman dan Islam, seharusnya tidak bisa dirusak oleh hipotesa receh sebagaimana yang digemborkan oleh kelompok Islam separatis.

Eratnya kaitan kebangsaan dan nilai-nilai keislaman, turut menjadikan Hadratusy Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari menggagas semboyan yang sudah sangat masyhur. Bahkan saking terkenalnya, sering disalahpahami sebagai hadis Nabi. Semboyan itu berbunyi “Hubbul Wathan Minal Iman”, atau “Cintah Tanah Air Sebagian dari Iman”. Dilanjutkan dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang menciptakan lagu “Syubbanul Wathan” atau sering dikenal dengan lagu “Ya Lal Wathan”.

Gagasan ini bukan sekedar iseng atau main-main saja. Memasukkan sesuatu dalam koridor keimanan harus sesuai dengan ajaran dan syariat Islam. Garis vertikal “Hubbul Wathan Minal Iman” selaras dengan jiwa Nabi yang sering merindukan kampung halamannya ketika bepergian jauh meninggalkan Makkah, dan saat berdomisili di Kota Madinah. Dari sini, kita semakin yakin bahwa ikatan batin seseorang dengan tanah airnya memang fitrah yang tidak bisa dipungkiri. Sampai-sampai, Baginda Nabi yang seistimewa itu, kerap kangen dengan Makkah.

Sedikit kisah menyayat hati, hingga tidak bisa dibayangkan betapa sedihnya Baginda Nabi ketika hendak hijrah ke Madinah, meninggalkan Makkah, kota kelahirannya. Dalam getaran kesedihannya, beliau menyampaikan salam perpisahan kepada Makkah, “Betapa engkau negeri terindah, negeri tercintaku. Kalau saja kaumku tidak mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.”

Setelah resmi menetap di Madinah, Baginda Nabi meminta kepada Allah agar menumbuhkan rasa cinta terhadap Madinah, seperti cintanya terhadap Makkah atau melebihinya. Mengapa beliau berdoa demikian? Tak lain, karena Madinah sudah beliau anggap menjadi tanah airnya. Tidak berhenti sampai di situ, sisi kemanusiaan Nabi sering merasakan kerinduan yang teramat dalam, hingga Allah berjanji akan mengembalikan beliau ke Makkah, tepatnya saat penaklukan Kota Makkah (fathu Makkah).

Dengan berpikir secara jernih dan tanpa meninggalkan aspek kemanusiaan, kita akan mudah memahami bahwa kecintaan Baginda Nabi terhadap tanah airnya merupakan tabiat manusia normal. Semua manusia akan merasakan hal serupa terhadap negerinya. Di samping itu, ada satu nilai lebih yang dianugerahkan kepada umat Muhammad perihal nasionalisme. Cinta kita terhadap tanah air bernilai ibadah dan berpahala, sebab hal itu masuk dalam koridor sunah Nabi. Sebagaimana nabi mencintai negerinya, kita juga mencintai tanah air kita.

Jika para pengusung Islam separatis ditanya “Apa kalian cinta Kota Makkah?” tentu jawaban mereka adalah “Pasti, kita cinta Makkah.” Lalu, alasan apa yang mendasari mereka mencintai Kota Makkah? Karena Makkah adalah kota dimana diutusnya Nabi Muhammad dengan agama Islam. Lantas, mengapa mereka tidak menyadari bahwa Baginda Nabi adalah seorang nasionalis dan patriotik?

Dengan berbagai alasan yang ada, seluruhnya mengerucut kepada satu alasan, yaitu wujud kecintaan kita terhadap apapun yang dicintai oleh Baginda Nabi. Dan cara mengikuti Nabi dalam hal ini adalah dengan mencintai bangsa dan tanah air.

Satu hal lagi yang harus ditekankan adalah pemahaman tentang maqashid al-syari’ah (tujuan pokok agama). Islam mempunyai  lima pokok primer yang harus dijamin eksistensinya dan dijaga keamanannya, yaitu: agama, nyawa, keturunan, akal pikiran, dan harta. Lima aspek yang selalu ada pada tatanan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Seseorang yang mengaku beriman harus bisa menjamin keamanan dan memenuhi hak-hak orang lain dalam beragama, hidup tenang, berkembang biak, kebebasan berpikir, dan harta bendanya.

Barang kali aneh rasanya -setelah memahami maqashid al-syari’ah-, namun masih terjadi pembunuhan dan berbagai aksi kriminal atas nama agama. Lalu, ada apa dengan indera yang sama sekali tidak bisa merasakan penegasan Nabi lewat hadisnya, “Siapa yang menyakiti non-muslim (dzimmi), sama saja ia menyakitiku.”

Epilog
Jika Allah mau menjadikan manusia hanya satu macam dalam agama, bangsa, dan budaya, maka sangat mudah bagi-Nya untuk mewujudkan itu. Nyatanya, Dia menciptakan semua makhluk-Nya dengan warna yang berbeda. Dari situ tersampaikan perintah-Nya untuk saling kenal-mengenal dan bijaksana dalam menghadapi segala jenis perbedaan yang ada.

Di sela-sela perbedaan, manusia cenderung mencari frekuensi yang bisa dijadikan titik kesamaan, sehingga menimbulkan cinta dan kasih sayang. Dengan kompleksnya perbedaan di antara manusia, ada satu titik yang menyatukannya, ialah sama-sama manusia, sama-sama hamba Tuhan.

Cinta akan semakin tumbuh saat kita kembali menemukan frekuensi-frekuensi yang sama. Aku, kau, dan dia satu dalam kebangsaan dan kenegaraan, bahkan sedarah dalam keimanan. Dengan demikian, tidak ada lagi satu alasan pun untuk kita saling mencelakai di saat kita sadar terdapat beribu alasan untuk saling mengasihi.

Penulis: Muhammad Syahrian Najah (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Mesir)
LihatTutupKomentar