Ilmu nahwu merupakan salah satu disiplin ilmu yang digemari oleh banyak kalangan. Seseorang tidak akan mampu memahami literasi arab jika tidak mengerti ilmu nahwu. Dalam dunia tulis-menulis juga demikian. Penulis yang sangat mendalam pemahamannya terhadap ilmu nahwu dan bahasa arab pasti mempunyai karakteristik dalam tulisannya. bahkan hal ini sering diikuti oleh para murid atau siapapun yang terpengaruh oleh gaya penulisannya.
Dalam kitab-kitab nahwu, pemilihan kata yang berbeda dalam tempat yang berbeda merupakan sebuah kewajaran yg dilakukan oleh penulis. Hal itu pula yang diterapkan oleh ulama nahwu ketika menggunakan kata "nahwu" dan "kaqaulihi” dalam menghadirkan contoh pembahasan.
Keduanya memiliki maksud tersendiri. Di banyak tempat, keduanya memiliki makna yg berbeda. Tapi, terkadang juga sama.
Perbedaan keduanya tampak dan sering, kerika kata "nahwu" tidak berimbuhan --alias dimutlakkan--. Beberapa poin (perbedaan) di bawah ini menjadi salah satu bukti ketelitian dan kedetailan ulama nahwu dalam memakai diksi.
"Nahwu" dan padanannya (huruf kaf, kata "mitslu", dll), biasanya digunakan untuk memeberikan kalimat --sebagai contoh terhadap suatu pembahasan-- yang tidak dinisbatkan kepada seseorang atau 'dzat' tertentu. Semisal, "nahwu: ja'a zaidun". Kalimat tersebut walaupun sudah masyhur, tetapi tidak dinisbatkan kepada pencipta atau seseorang tertentu. Maka dari itu, ulama menggunakan kata "nahwu" sebagai pengantarnya.
Kata tersebut juga sering digunakan untuk kalimat atau contoh yang dibuat setelah adanya kaedah. Seperti kalimat "ja'a zaidun" dibuat setelah terciptanya kaidah fi'il dan fa'il.
Berbeda halnya ketika kata "nahwu" diimbuhi dengan keterangan yg mengarah terhadap penisbatan. Seperti "nahwu qalihi ta'ala", "nahwu qaulihi", dan "nahwu qaulisy sya'ir", tentu maknanya tidak seperti pada umumnya. Dan ini sah dalam redaksi arab --pada umumnya-- dan nahwu --khususnya--.
Kemudian, mengenai "Kaqaulihi", ulama nahwu sering menggunakannya untuk menghadirkan syawahid. Syawahid atau syahid secara bahasa bisa berarti dalil, bukti, dan ilustrasi. Sedangkan menurut istilah, berarti kalimat yang menjadi pijakan atau dalil dalam melahirkan suatu kaedah bahasa. Dari sini, bisa dipahami bahwa syawahid ibarat dalil naqli yang darinya para ulama fikih menggali hukum. Keberadaannya lebih dahulu dari pada kaidah; karena kaedah muncul berlandaskan atasnya.
Syawahid bisa berupa syair atau prosa (natsr). Pengertian syair sudah diketahui dan sangat jelas. Sedangkan prosa atau natsr, definisi 'negatifnya' adalah yang bukan syair atau kalimat biasa. Al-Quran dan al-hadits adalah contoh tergamblang untuk menjelaskan adanya syawahid natsriyah. Ini sekaligus menepis fokus orang-orang yg --sering-- hanya menganggap atau menyebut "syawahid itu syair".
Syawahid selalu dinisbatkan terhadap seseorang atau dzat tertentu. Al-Qur'an dinisbatkan kepada Allah, hadits kepada Baginda Nabi, syair jahiliah juga bisa diketahui siapa pembuatnya, dan prosa jahiliah juga seperti itu. Walaupun mungkin terdapat beberapa syair yang belum diketahui siapa penciptanya, namun ketidaktahuan tidak dapat menabrak dan merusak penisbatan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kata "nahwu" sering digunakan untuk memberi contoh berupa kalimat yg tidak dinisbatkan kepada seseorang tertentu, dan tercipta setelah adanya kaidah. Sedangkan, kata "kaqaulihi" sering digunakan untuk syawahid. Terkadang pula keduanya bermakna sama, dan ini merupakan cara penulisan ulama nahwu. Tidak ada kaedah khusus dalam kepenulisan mereka. Namun, ini menjadi bukti, bahwa kesamaan rasa redaksi bahkan karakter ulama didapatkan karena mereka mempunyai sanad keilmuan yang erat. Bukan hanya ilmu yang turun menurun, ahwal ulama juga berpindah dan menyebar kepada murid-muridnya.
Wallahu a'lam.