'

Membantah Argumen Tentang Allah Itu Tidak Ada


Fenomena orang ‘tak bertuhan’ bukan hal baru lagi. Pemikiran-pemikiran yang menjurus kepada tidak mengakui adanya Tuhan, dinisbatkan pada atheisme. Dari akarnya, memunculkan buah-buah yang segar bagi kalangan yang mengedepankan rasio tanpa melirik wahyu. Sehingga, tampaknya sangat menawan. Padahal, kenyataannya jauh dari itu.

Tuhan yang diyakini oleh kalangan umat Islam bernama Allah. Namun, ateisme tidak meniadakan Tuhan atas dasar agama tertentu. Melainkan menafikan keberadaan Tuhan secara mutlak. Jika berdasarkan agama, tentu bukan termasuk golongan tersebut. Karena, setiap agama pasti menafikan apa saja yang berkaitan dengan Tuhan dan tidak selaras dengan keyakinan dan ajarannya.


Argumen dasar yang digunakan untuk menguatkan pemikiran tentang tidak adanya Tuhan adalah: Tuhan tidak bisa dicena oleh panca indra manusia. Tidak bisa dilihat, didengar, dan seterusnya. Ini menandakan bahwa Tuhan tidak ada. Pemikiran ini lahir dengan silogisme sebagai berikut:

Premis minor     : Setiap sesuatu yang ada pasti bisa diindra.
Premis mayor    : Sedangkan Tuhan tidak bisa diindra.
Konklusi            : Tuhan Tidak ada.

Silogisme ini seperti buah busuk yang kulitnya masih bagus. Artinya, kesalahannya terletak pada bahan atau paradigma premis-premisnya, baik minor maupun mayor. Mari kita bahas satu per satu secara padat dan jelas.

“Setiap sesuatu yang ada pasti bisa diindra” merupakan premis yang keliru. Kenapa bisa begitu? Sebab,  tidak semua yang ada itu pasti bisa diindra. Banyak sekali hal-hal yang ada tetapi tidak bisa diindra, malaikat dan setan, misalnya. Ketidaktahuan manusia tidak bisa menjadi landasan atas ketiadaan sesuatu. Ketidaktahuannya memang sifat kebodohan manusia. maka, tidak ada pegetahuan yang disandarkan kepada kebodohan.

Jika ada seseorang yang belum pernah melihat, mendengar, dan mengetahui Monas di Jakarta, apa benar kalau ia meyakini bahwa Monas tidak ada? Kesalahan yang sangat tampak dari bantahan yang sangat sederhana, bukan?

Kemudian, ada seseorang yang memperlihatkan kepadanya foto Monas, atau melihatnya di siaran televisi. Apa yang terjadi? Ia mempercayai bahwa Monas itu ada. Foto dan siaran televisi termasuk perantara yang menjadikannya bisa mengindra keberadaan Monas.

Lalu bagaimana dengan Tuhan? Seseorang yang tidak bisa mengindra Tuhan, tidak selayaknya meyakini bahwa Tuhan tidak ada dengan alasan tersebut. Kemudian, jika ada seseorang yang sangat jujur memberitahukan bukti-bukti keberadaan Tuhan kepadanya –melalui ajaran agama, alam semesta, dll.- maka sudah sepantasnya ia meyakini kebenaran bukti yang sampai kepadanya. penyampai ini sama seperti foto Monas yang menjadi perantara tujuan tersebut.

Kebodohan manusia juga sudah sangat tampak dari perilaku sehari-harinya. Ini sifat dasar manusia di hadapan Tuhan. Ini membuktikan bahwa keberadaan Tuhan harus diyakini. Manusia tidak bisa bertindak semaunya sendiri. ingin kaya, ternyata miskin. Ingin pintar, ternyata bodoh. Memahami diri sendiri pun sangat sulit. Sering kali manusia tidak mengerti kemana langkah hidupnya dan bagaimana sejatinya jati diri.

Keberadaan Tuhan tentu sangat dirasakan oleh orang-orang yang mengimani-Nya. Orang miskin yang tetap tersenyum ikhlas, orang yang tertimpa banyak masalah dan bahkan tak tahu jalan keluarnya, ternyata tidak bunuh diri dan masih bisa ngopi dengan enjoy, itu karena mereka merasakan kehadiran Tuhan.

Kalau masih ngotot ingin melihat Tuhan dengan mata telanjang, maka bersabarlah. Di akhirat Tuhan mengizinkan bagi ahli surga untuk melihat-Nya secara langsung. Sebab, di dunia manusia terlalu jauh untuk bisa melihat Tuhan secara langsung. Dimensinya sangat berbeda. Sama saja seperti orang yang sangat ingin membuktikan keberadaan Monas dengan melihatnya secara langsung, tetapi tidak punya cukup ongkos untuk pergi ke Jakarta. Maka, bersabar dan rajin menabung adalah solusinya.

Kesalahan premis minor dalam kasus ini, otomatis menjadikan mayornya kacau. Sebab, mayor dibangun dari minor. Dengan begitu, kesimpulan “Tuhan tidak ada” hanya omong kosong belaka.

Lagi, seseorang yang diberi tahu oleh ilmuan bahwa susu mengandung kalsium. Lantas orang itu percaya saja, padahal belum bisa membuktikan dengan indranya. Lalu, bagaimana dengan ajaran agama yang dibawa oleh para Rasul yang semua umat bersepakat atas kesucian mereka dan  terhindar dari sifat dusta.
LihatTutupKomentar