Mabadi asyrah, istilah ini sudah tidak asing lagi di telinga para penuntut ilmu. Namun, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan “Mabadi’ Asyrah”. Jika ingin mengartikan istilah yang lebih dari satu kata, maka harus mengetahui arti harfiah setiap katanya. Secara etimologi, mabadi’ dalam bahasa arab merupakan bentuk jamak dari mabda’ yang bermakna pokok, dasar atau titik awal. ‘Asyrah berarti sepuluh. Dengan demikian maknanya adalah sepuluh pokok.
Sedangkan menurut terminologi, mabadi asyrah adalah sepuluh pokok dari disiplin ilmu yang harus diketahui oleh pemula sebelum mendalami ilmu tersebut. Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa seseorang yang ingin belajar suatu ilmu, tetapi melalaikan mabadi asyrah-nya, maka hasilnya kurang maksimal. Ibarat kata ada seorang pria yang ingin menikahi gadis dan menginginkan hidup bersama dengannya, hendaknya melakukan proses perkenalan. Agar tidak ada sesuatu yang mengagetkan dan mngecewakan, hingga perceraian. Tetapi kalau terlalu lama perkenalan ya nikahnya kapan? Bisa-bisa diambil orang.
Fenomena ‘lalai’ ini cukup marak di kalangan pelajar. Banyak dari mereka yang tidak memperhatikan mabadi asyrah. Ketika ingin mengaji, langsung ikut saja tanpa mengetahui secara mendalam apa sebenarnya ilmu yang ingin dikaji. Bahkan langsung mengikuti pengajian kitab tertentu, tetapi tidak dari awal, melainkan dari tengah-tengah dan tidak khatam pula. Ini mesti dihindari jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal. Begitu pula jika berhadapan dengan buku. Maka mabadi asyrah ini penting sebelum terlalu jauh memperlajari buku atau referensi tertentu yang sebenarnya kita belum tahu arahnya kemana.
Sepuluh pokok tersebut ada empat pokok utama yang bisa dikatakan paling inti. Tentunya tidak mengabaikan sisanya. Empat pokok utama tersebut adalah; nama ilmu, ta’rif atau definisi, pembahasan, dan tujuan. Adapun enam pokok lainnya meliputi; keutamaan, penisbatan, hukum, peletak dasar, dasar pengambilan ilmu, dan permasalahan.
Mengapa kok harus sepuluh ya? Karena sebagian ulama ada yang merumuskan hanya lima saja dan diistilahkan dengan mabadi’ khamsah. Namun, pendapat yang lebih unggul adalah rumusan mabadi asyrah.
Mengenal Mabadi Asyrah Lebih Dalam
Syekh Muhammad bin Ali al-Shobban (wafat 1206 H), Seorang ulama kondang dari Mesir dan pengarang kitab; Hasyiah ‘ala Syarh Al-Asymuni ‘ala Matni Alfiyah Ibn Malik fi An-nahw, telah menuliskan mabadi asyrah lewat syairnya:
Syekh Al-Shabban tidak mengurutkan sepuluh pokok tersebut sesuai dengan keutamaannya, melainkan hanya menyebutkan semuanya dengan maksud untuk mempermudah menghafalkannya. Di bait bagian akhir beliau menerangkan bahwa sebagian dari mabadi asyrah ini lebih utama atau lebih inti dari pada yang lainnya -yaitu empat pokok tadi-. Namun, bagian yang lebih inti ini tetap bisa mencakup bagian yang lain.
Di separuh bait terakhir beliau kembali menegaskan bahwa mempelajari mabadi asyrah secara keseluruhan dan mendetai akan lebih baik dibandingkan hanya terfokus pada empat pokok tadi. Maka dari itu, mari kita bahas satu per satu ya.
Mabadi asyrah meliputi:
- al-Ism (nama ilmu): Setiap ilmu pasti memiliki nama. Nama ilmu tertentu terkadang lebih dari satu. Tetapi, setiap nama pasti mempunyai alasan “mengapa ilmu ini dinamakan dengan nama ini?”. Dengan diskursus ini, kita dapat mengerti nama ilmu tertentu dan alasan penamaannya, bahkan siapa saja tokoh yang menamainya -jika lebih dari satu-.
- al-Ta’rif (definisi): Membahas definisi atau pengertian ilmu tertentu dengan jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.
- al-Maudhu’ (pokok pembahasan): Berisi tentang pembahasan-pembahasan pokok yang ada dalam cakupan ilmu tertentu. Sehingga kita bisa mengerti apa saja yang sekiranya akan dipelajari dan menjadi titik fokus saat mempelajari ilmu tersebut.
- al-Tsamrah (manfaat atau hasil): Manfaat yang didapatkan jika kita mempelajari suatu ilmu. Dengan begitu, kita sudah tau arah yang jelas tentang hasil dari ilmu tersebut.
- al-Fadhl (keutamaan): Menjelaskan keutamaan suatu ilmu dari berbagai sisi. Serta perbandingan keutamaan dengan ilmu lainnya.
- al-Nisbah (nisbat atau hubungan): Nisbat merupakan hubungan antara satu ilmu dengan yang lain. Misalnya, ilmu nahwu mempunyai hubungan erat dengan ilmu bahasa arab. Dia lebih khusus dibandingkan dengan ilmu bahasa.
- al-Istimdad (Pengambilan atau referensi dasar): Setiap ilmu pasti mempunyai sumber tertentu yang darinya dilahirkan ilmu tersebut. Nah, apa saja yang menjadi dasar pengambilan ilmu tersebut akan dibahas di bagian ini.
- al-Wadhi’ (peletak dasar): Peletak dasar bukan berarti orang yang pertama kali menemukan suatu ilmu. Makna yang lebih tepat adalah orang yang pertama kali merumuskan epistimologi dan mengumpulkan suatu disiplin ilmu, baik dalam bentuk buku atau selainnya. Namun kebanyakan para peletak dasar keilmuan meninggalkan karya berupa buku atau catatan. Pengertian ini lebih umum dan cakupannya lebih luas. Jika al-wadhi’ hanya diartikan sebagai penemu, maka bisa terjadi kesalahpahaman; sebelum kemunculannya, ilmu terkait belum ada.
- al-Hukm (hukum mempelajarinya): Hukum mempelajari ilmu tentu berbeda-beda. Ada yang bersifat wajib ain, ada yang kifayah, sampai haram. Dalam pandangan syari’at kita bisa mengerti hukum mempelajari ilmu tertentu melalui pembahasan ini.
- al-Masa’il (permasalahan-permasalan): mencakup permasalahan-permasalahan yang terkandung dan menjadi pembahasan suatu ilmu. Sehingga kita tidak salah arah ketika ingin mempelajari suatu masalah dalam disiplin keilmuan. Sebab, pemetaannya sudah jelas. Misalnya, masalah perhitungan kalender, ini sudah pasti kita cari dalam ilmu falak. Tidak mungkin menemukannya dalam ilmu nahwu.
Demikian, mabadi asyrah ini harus dipelajari terlebih dahulu sebelum memasuki ranah keilmuan khusus. Seseorang yang ingin mempelajari ilmu nahwu atau ilmu tauhid, maka dia harus mempelajari mabadi asyrahnya dulu. Jika diibaratkan ilmu adalah suatu kota, maka mabadi asyrah ini adalah pintu gerbang utamanya.