Setiap ilmu mempunyai mabadi asyrah sebagai
pondasi penguat seseorang yang ingin menekuninya. Termasuk dalam hal ini adalah
ilmu tauhid. Tauhid berkaitan dengan keimanan seseorang. Sehingga, disiplin
ilmu tauhid sudah seharusnya menjadi asupan utama seorang muslim, terlebih bagi
seorang pengajar.
Sepuluh pokok yang harus diketahui mencakup; nama
ilmu, takrif, maudlu’ (pembahasan), tujuan, keutamaan, penisbatan, hukum,
peletak dasar, dasar pengambilan ilmu, dan permasalahan. Mari kita bahas satu
persatu.
Baca Juga: Mabadi Asyrah; Sepuluh Pokok yang Wajib Diketahui
Baca Juga: Mabadi Asyrah; Sepuluh Pokok yang Wajib Diketahui
1. al-Ism (Nama Ilmu)
Ilmu ini mempunyai sembilan nama
dalam penyebutannya. Setiap penamaan mempunyai alasan dan latar belakang yang
melandasi penamaan ilmu yang mulia ini. Sembilan nama tersebut yaitu; Ilmu
Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Usuluddin, Sebagian ulama juga menyingkat tiga
nama tersebut dengan menghilangkan kata “ilmu” dari setiap nama tersebut -seperti
yang dijelaskan oleh Imam Yosi (wafat 1111 H.) dalam kitabnya; Hasyiyah Kubro
al-Sanusi-. Dengan demikian, penyebutan nama ilmu ini menjadi enam. Ditambah
sebagian ulama ada yang menamainya dengan Fikih Akbar, Ilmu Ilahi, dan
Ilmu Aqaid atau Ilmu Akidah. Sehingga jumlah nama disiplin ilmu ini genap
menjadi sembilan. Bahkan Imam Taftazani menggandengkan kata “al-Sifat” dalam
nama “Ilmu Tauhid dan Sifat”. Pembahasan historical penamaan ilmu ini
merupakan pembahasan yang menarik. Maka dari itu, para ulama memberikan sebuah
alasan penting yang harus kita ketahui dalam proses penamaannya.
- Pertama, ilmu tauhid. Penamaan ini didasarkan kepada pembahasan pokok ilmu ini yang menitik beratkan pada pasal wahdaniah atau sifat keesaan Allah dan sekaligus menjadi pembahasan yang paling pokok. Dalam bahasa Arab, pengesaan atau menunggalkan Tuhan disebut dengan “Tauhid”. Dari sini mereka menamai ilmu ini dengan Ilmu Tauhid.
- Kedua, ilmu kalam. Mengapa ada yang menyebutnya dengan nama ini? Ada beberapa alasan dalam hal ini. Alasan pertama, para ulama salaf (mutaqaddimin) sering menggunakan redaksi “al-Kalamu ‘ala ….” (pembahasan mengenai ….) ketika mengawali atau menerangkan pembahasan yang terdapat dalam ilmu ini. Alasan kedua, pada akhir abad kedua hijriah terjadi perdebatan sengit tentang kalamullah; Apakah kalamullah tergolong makhluk atau tidak. Pemaksaan ideologi yang dilakukan oleh pihak kerajaan kepada para ulama untuk berikrar bahwa kalamullah adalah makhluk dan bersifat baru. Karena masalah ini menyangkut keyakinan, maka para ulama yang teguh tetap memperthankan imannya bahwa kalamullah bukan makhluk dan bersifat qadim (dahulu). Perdebatan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ilmu ini diistilahkan dengan “Ilmu Kalam”. Masih ada beberapa alasan lain mengenai penamaan ini. Namun, dua alasan di atas lebih masyhur dari alasan yang lain.
- Ketiga, ilmu usuluddin. “Ushul” dalam bahasa Arab bermakna pokok atau dasar. Sedangkan “al-din” bermakna agama. Jadi, Usuluddin berarti pokok atau dasar agama. Semua ilmu syariat islam dilandasi oleh ilmu ini. Sebaik apapun keislaman seseorang dalam ranah ilmu syariat, jika tidak mengerti ilmu usuluddin, keimanannya kosong, maka sama saja bohong. Secara garis besar, agama terpetakan menjadi dua bagian; keyakinan dan ibadah. Ilmu syariat mengatur tentang bagaimana cara beribadah dengan benar. Sedangkan ilmu usuluddin menjelaskan keimanan dan keyakinan yang benar.
- Keempat, fikih akbar. Mengapa dinamai dengan fikih akbar (agung)? Karena ilmu ini sejalan dengan ilmu fikih yang mengatur tata cara beribadah. Sedangkan fikih akbar mengatur tentang keyakinan. Sudah maklum bahwa ibadah seseorang tidak akan diterima kecuali ia beriman terhadap ajaran islam. Maka dari itu penyandaran kata “akbar” bermaksud bahwa ilmu ini adalah pokok ilmu syariat atau fikih.
- Kelima, ilmu ilahi. Penamaan ini didasari oleh pokok pembahasannya yang berkutat tentang ketuhanan. Sehingga dengan ilmu ini, seorang hamba bisa mengenal Tuhannya.
- Keenam, ilmu akidah. “Aqidah” berasal dari akar kata “al-‘aqdu” yang berarti ikatan yang sangat kuat. Sebagaimana arti dari kata tersebut, ilmu ini membahas keyakinan yang teguh dan tidak terkontaminasi oleh segala bentuk keraguan yang dapat memudarkan ikatan keimanan ini.
Dengan banyaknya nama tersebut, pengetahuan
kita akan bertambah dan tidak menjadikan perbedaan nama sebagai alasan
menyalahkan antara satu dengan lainnya. Dalam tulisan ini, saya sebut dengan “Ilmu
Tauhid” karena nama ini lebih sering digunakan.
2. al-Ta’rif (Definisi)
Ilmu tauhid adalah ilmu yang menjadi
dasar penetapan keyakinan dan keimanan agama yang diambil dari dalil-dalil yang
bersifat pasti (bukan prasangka, apalagi ragu-ragu). Maksud dari penetapan
akidah (keyakinan dan keimanan) di sini adalah kuatnya iman seseorang yang
memahami ilmu ini dan berkembang maju, yang awalnya hanya taklid, dengan
mempelajari ilmu tauhid menjadi tahkik (benar-benar mengerti). Secara gampangnya
bisa disebut peningkatan kualitas iman yang disertai dengan argumen atau dalil
yang ilmiah. Sehingga imannya benar-benar mantab dan objektif. Ketika seorang
hamba sudah berada di tingkat itu, maka gonjang-ganjing dari apapun yang
berusaha meruntuhkan keimanan, bukan masalah yang bikin deg-degan. Lalu, dengan
cara apa kita memantapkan iman? Dengan mempelajari dalil-dalil mutlak; baik
berupa naqli maupun akli. Penggabungan antara wahyu dan rasional yang terhindar
dari kekacauan cara berfikir pasti melahirkan rumusan yang sangat kukuh.
3. al-Maudhu’ (Pokok Pembahasan)
Pembahasan utama dalam ilmu tauhid
mencakup ketuhanan; zat & macam-macam sifat-Nya, kenabian;
zat & sifat-sifatnya, rukun iman, dan lain-lain. Secara sederhana,
pembahasan ilmu tauhid bisa diistilahkan dengan “aqaid 50”.
4. al-Tsamrah (Manfaat)
Manfaat mempelajari ilmu tauhid adalah
meningkatkan kualitas keimanan seorang hamba dengan mengenal Allah dan
sifat-sifat-Nya, rasul dan sifat-sifatnya. Sehingga benar-benar menambah rasa cinta
kepada Allah dan rasul-Nya. Dengan kemantapan seperti ini, ia tidak gampang
untuk luntur keimanannya. Sebab pengakuan dan ridlo terhadap Allah dan segala
ajarannya pasti menumbuhkan rasa nyaman dan tentram. Hingga pada akhirnya, ilmu
ini menjadi sebab terciptanya kehidupan yang selamat di dunia dan di akhirat.
5. al-Fadhl (Keutamaan)
Mengenai keutamaannya, saya kira
sudah tidak perlu panjang lebar menjelaskan. Ilmu yang secara langsung
bersinggungan langsung dengan Allah yang Maha Mulia dan para rasul yang maksum,
otomatis menjadikannya ilmu yang paling utama. Keabsahan iman dan islam seseorang
bergantung kepada ilmu ini. Dengan ilmu tauhid kita mengenal Allah dan benar-benar
bisa mengagungkan-Nya.
6. al-Nisbah (Nisbat Atau Hubungan)
Hubungan ilmu tauhid dengan ilmu-ilmu
agama selainnya adalah sebagai sebuah asal dan dasar. Semua ilmu agama merujuk
pada ilmu tauhid. Dari ilmu inilah lahir berbagai cabang keilmuan, seperti;
tafsir, hadis, fikih, dan lain-lain. Imam Abu Abdillah bin Mujahid bersyair:
أيها المغتدي لتطلب علما * كل علم
عبد لعلم الكلام
تطلب الفقه كي تصحح حكما * ثم أغفلت منزل الأحكام
“Wahai pemula dalam mencari ilmu * seluruh
ilmu adalah ‘anak’ Ilmu Kalam”
“Kau menuntut fikih agar benar dalam
hukum * lalu kau lalaikan yang menurunkan hukum”
7. al-Istimdad (Pengambilan Atau Referensi Dasar)
Pengambilan
ilmu tauhid bersumber dari dalil-dalil naqli dan akli. Syekh al-Islam Imam
Zakariya al-Anshori mengatakan: “Ilmu kalam bersumber pada ajaran islam yang
terkandung dalam Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan argumen akal yang tidak
terbantahkan.”
Tidak
ada pertentangan antara wahyu dan akal. Keduanya saling menguatkan. Ini sekaligus
membantah kelompok yang mengatakan bahwa Asy’ariyah atau Asya’iroh hanya
menggunakan dalil akal. Mengapa Asy’ariyah seringkali menghadirkan argumen secara
rasional? Sebenarnya itu ditujukan untuk membantah kelompok-kelompok di luar
islam yang notabennya mereka tidak mempercayai Al-Qur’an maupun sunnah. Mereka tidak
disodori wahyu, sebab sudah pasti mereka menolaknya dan tidak mempercayainya. Oleh
karenanya, akal sehat dengan konsep yang matang serta objektif merupaka cara
jitu untuk melemahkan mereka. Malah, Ini merupakan bukti kejelian dan bijaksana
dalam berargumentasi.
8. al-Wadhi’ (Peletak Dasar):
Seperti
yang sudah kita ketahui, bahwa al-wadhi’ bermakna perumus awal yang
mengumpulkan pembahasan-pembahasan dalam disiplin ilmu tertentu. Ilmu tauhid
yang saya maksud adalah ajaran ahlusunnah wal jamaah. Penisbatan ahlusunnah wal
jamaah ini mengarah kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari (wafat 324 H.) dan Imam
Abu Manshur al-Maturidi (wafat 333 H.). Mereka yang kembali memurnikan akidah
umat islam yang sudah banyak terkontaminasi dengan aliran yang bermacam-macam. Akidah
ini bukan ajaran baru mereka. Kemurnian ini yang mereka bawa dari para gurunya yang
bersambung sanadnya sampai Rasulullah Muhammad. Akidah yang juga dibawa oleh
setiap rasul Allah yang diutus kepada umatnya. Mereka membantah teori atau
hipotesa yang disebarkan oleh kelompok muktazilah dengan berbagai cara. Salah satunya
dengan mengumpulkan ajaran-ajaran tauhid melalui kitab. Imam al-Asy’ari
meninggalkan banyak sekali karangan, yang termasyhur ada; Maqalat
al-Islamiyyin, al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, dan al-Luma’. Sedangkan
Imam al-Maturidi meninggalkan; Kitab al-Tauhid, Bayan Auham al-Mu’tazilah,
al-maqalat, dan lain-lain.
Imam Ibnu hajar al-Haitami berkata: “Ilmu kalam dinisbatkan kepada Imam al-Asy’ari karena beliau telah berhasih menjelaskan kemurnian manhaj atau metode yang ditempuh oleh orang-orang terdahulu lengkap dengan argumentasinya. Beliau bukan membawa ajaran baru, melainkan hanya penyebutan istilah atau julukan baru terhadap ajaran lama yang sudah dijalankan. Fenomena (penamaan baru terhadap ilmu) ini terjadi di setiap disiplin keilmuan.”
9. al-Hukm (Hukum Mempelajarinya)
Apa hukum mempelajari ilmu tauhid? Hukum
mempelajarinya adalah fardu ain (wajib) atas setiap mukalaf. Tentu kewajiban
menyangkut ilmu tauhid dasar yang tidak bisa ditanggalkan. Misalnya, mengenal
Allah dan sifat-sifat-Nya dengan dalil yang bersifat global dan sederhana. Adapun
hukum mempelajari ilmu tauhid secara mendalam dan detail hukumnya fardu
kifayah. Cukup diwakilkan sebagian orang saja. Sebab hal ini dirasa berat bagi
sebagian orang. Mengapa hukumnya fardu kifayah? Supaya tidak akan terjadi
kekosongan dalam kepakaran ilmu tauhid yang sanggup membentengi akidah umat
islam dari noda-noda membandel yang setiap hari berdatangan.
10. al-Masa’il (Permasalahan-Permasalan):
Poin
utama masalah-masalah yang tercakup dalam bahasan ilmu tauhid ada tida; ketuhanan,
kenabian, dan sam’iyat (hal-hal yang diketahui hanya dari jalur wahyu dan belum
bisa diindera, seperti: surga dan neraka).
Oke, tulisan kali
ini saya akhiri sampai di sini. Semoga kita dapat lebih cermat dan
memperhatikan metode belajar dan mengajar. Sehingga dapat memanen hasil yang
maksimal. semoga bermanfaat! Wallahu a’lam.