'

Dimana Sebenarnya Allah itu?


Persoalan ini sebenarnya sudah tergolong klasik, namun tetap hangat menjadi bahan perbincangan bahkan perdebatan di kalangan para ulama sampai sekarang. Tentunya obrolan ulama tidak keluar dari garis keilmiahan. Sayangnya,  banyak orang-orang awam yang ikut-ikutan, padahal tidak tahu duduk perkaranya. Akhirnya timbul pengkafiran dan peyesatan terhadap kelompok yang tidak sependapat dengannya.

Islam mempunyai pokok ajaran yang bersifat tetap dan tidak bisa diganggu gugat (tsawabit). Termasuk di dalamnya, mengenai keimanan. Semua ulama bersepakat bahwa Allah harus diimani sesuai apa yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, hadis, dan pendapat konsensus ulama.

Allah berfirman,
“Sungguh tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia maha mendengar lagi maha melihat.” (Al-Syura: 11). 
Dari ayat ini, para ulama melahirkan suatu kaedah bahwa Allah tidak serupa dengan makhluknya, dan begitu pun sebaliknya.

Allah tidak serupa dengan makhluknya, baik dalam Zat (hakikat), sifat, dan perilaku-Nya. Hubungannya dengan pertanyaan “dimana Allah?” Adalah setiap pertanyaan “dimana” menunjukkan suatu tempat yang mempunyai arah. Bisa atas, bawah, samping kanan, kiri, dan seterusnya. Dengan demikian, tempat dengan segala arahnya adalah makhluk.
Ayat tersebut memberikan jawaban secara umum. Karena, detailnya memerlukan konsentrasi yang mendalam, supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman terhadap sejatinya Allah.

Jika yang dikehendaki dari pertanyaan “dimana” adalah tempat secara spesifik seperti yang kita pahami, maka pertanyaan ini tidak layak dinisbatkan kepada Allah. Karena tempat adalah makhluk Allah, dan Allah tidak diliputi oleh makhluknya, justru sebaliknya. Dia tidak terikat oleh sesuatu yang baru.

Dalam pelajaran awal ketika memasuki ranah ilmu tauhid, pembahasan tentang sifat-sifat Allah selalu menjadi bab yang harus diperhatikan. Allah itu wajibul wujud (wujudnya mutlak) yang tidak dipengaruhi oleh apapun. Allah bersifat qidam, yaitu ada tanpapermulaan. Dia ada sebelum adanya tempat dan waktu.

Lalu bagaimana kita menyikapi ayat yang menerangkan bahwa Allah berada di al-sama’ (langit) [Al-Mulk: 17], dan di atas arasy [Thaha: 5 dan Al-a’raf: 54]? Dengan berpegang pada kaedah bahwa Allah berdiri sendiri dan tidak serupa dengan makhluk-Nya, maka yang dimaksud dengan kata langit adalah ketinggian derajat dan keluhuran. Langit dalam bahasa arab disebut dengan sama’ yang mempunyai arti dasar tinggi. Karena langit menurut kita berada di atas, maka disebut dengan kata tersebut. Langit juga menjadi isyarat sesuatu yang tinggi. penisbatan tinggi terhadap zat Allah tidak bernilai suatu tempat yang memiliki arah. melainkan ketinggian derajat dan keluhuran-Nya di banding seluruh makhluk.

Mengenai arasynya yang diartikan sebagi singgasana Tuhan, ini merupakan bahasa kiasan yang menunjukkan kemualiaan arasy. Tidak bisa terpikir oleh akal seorang mukmin jika Allah digambarkan seperti seorang raja yang duduk di singgasananya. Para ulama menafsirkan kata istawa dengan kekuasaan Allah. Maksudnya, Allah menguasai arasy yang notabennya adalah makhluk yang sangat mulia. Dengan demikan, seorang mukmin bisa semakin memantapkan bahwa Allah satu-satunya Zat yang menguasai alam semesta.
Pendapat ini sudah menjadi keputusan bersama dalam kalangan ulama ahli sunah waljamaah. Menyucikan Allah dari segala yang tidak pantas baginya, termasuk mengaitkannya dengan tempat dan waktu., yang mana keduanya merupakan sesuatu yang bersifat baru, dan setiap yang baru adalah makhluk. Maka Allah tidak pantas dikaitkan dengan sifat yang berkaitan dengan makhluk.

Dalam upaya menambah keimanan kita, seyogianya kita selalu bertafakur tentang tanda-tanda kebesaran Allah melalui macam-macam ciptaan-Nya. Bertafakur terlalu dalam dan berlebih-lebihan tentang hakikat Allah tidak bisa memantapkan keimanan, malah yang ditakutkan akan hancur dan tersesat karena bingung –naudzu billah min dzalik-. Allah maha gaib, hakikatnya tidak bisa diketahui secara pasti oleh kedangkalan akal manusia.

LihatTutupKomentar